Penulis : Dr. Muammad Sontang Sihotang S.Si, M.Si (Dosen Prodi Fisika FMIPA USU) |
Menurut Bank Dunia (2018), kualitas pendidikan Indonesia masih rendah. Laporan Bank Dunia tahun 2018 juga menunjukkan bahwa, skor Human Capital Index (HCI), Indonesia menempati peringkat 87 dari 157 negara. Ini dibawah Singapura (Peringkat 1), Vietnam (Peringkat 48) dan Malaysia (peringkat 55).
Oleh karena itu, Indonesia harus memahami pentingnya pembangunan Sumber Daya Manusia (SDM). Peningkatan kualitas SDM menjadi salah satu kunci Indonesia menjadi negara dengan tingkat penghasilan tinggi.
Human Capital adalah landasan untuk kesejahteraan dan kunci penggerak High-Income Growth (Sri Mulyani 2021).
Selain itu, Dirjen Anggaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu), Askolani mengatakan, skor Program Penilaian Pelajar Internasional atau biasa disebut PISA menurun. Artinya, kualitas SDM di Indonesia belum optimal. Sejak keikutsertaannya di tahun 2001, skor PISA Indonesia belum mengalami peningkatan yang cukup signifikan.
Bahkan sekitar 52 persen dari pelajar Indonesia yang menjadi sampel PISA 2018 berada dalam kategori Low Performer pada tiga subjek, Literasi, Matematika dan Sains.
Jauh lebih rendah dibandingkan dengan capaian negara-negara tetangga. Karena belum optimalnya performa belajar Indonesia menurut Standar Internasional tersebut. Hal ini tidak terlepas dari Profesionalisme dan Kompetensi tenaga pendidik sebagai pilar utama dalam peningkatan kualitas pelajar (https://www.cnbcindonesia.com/news/20200701184938-4-169544/kualitas-sdm-ri-belum-optimal-nih-mas-nadiem).
Berdasarkan penelitian Indonesia Career Center Network (ICCN), Tahun 2017, diketahui sebanyak 87 persen mahasiswa Indonesia mengakui bahwa jurusan yang di ambil tidak sesuai dengan minatnya. Dan 71,7 persen pekerja, memiliki profesi yang tidak sesuai dengan pendidikannya (https://republika.co.id/berita/pmjuhw368/87-persen-maha siswa-mengaku-salah-pilih-jurusan).
Ada banyak faktor mahasiswa berkuliah tidak sesuai dengan minat dan bakat. Hampir 50,55 persen faktor eksternal calon mahasiswa, misalnya karena dorongan orang tua, ikut teman atau bahkan di anggap mudah mencari pekerjaan.
Hal itu terjadi akibat dari ketidaktahuan dan ketidakmengertian mereka akan minat dan bakatnya, mereka memutuskan program pendidikan pilihannya hanya berdasarkan rekomendasi dari teman atau orang tuanya.
Oleh karena itu, pelajar yang salah memilih jurusan kuliah akan berdampak pada ketidakmaksimalan dalam pekerjaan atau profesi yang akan digelutinya. Sehingga orang tersebut tidak dapat berprestasi dan berkemampuan maupun berketerampilan yang dimiliki dan tidak berkembang dengan baik.
Jika seseorang bekerja pada bidang yang diminati atau disukai, pastinya akan lebih mencintai dan bahagia dalam menjalankan pekerjaannya.
Dampak selanjutnya, yang bersangkutan akan bekerja lebih giat dan punya rasa tanggung jawab yang tinggi (https://www.inews.id/news/nasional/survei-87-persen-mahasiswa-di-indonesia-salah-jurusan).
Organisasi Buruh Internasional (ILO), Tahun 2017 pernah melaporkan bahwa 60 persen pekerja Indonesia memiliki pekerjaan yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Produktivitas tenaga kerja di Indonesia selama ini masih dianggap cukup rendah dibandingkan dengan negara lain di sekitar Asia Tenggara (ASEAN) (https://www.ugm.ac.id/id/berita/17724-kemampuan-kerja-kaum-muda-perlu-ditingkatkan).
Belum lagi ditambah ketidakcocokan keterampilan yang didapat dari pendidikan dengan kebutuhan kerja dunia industri.
Beberapa pengamat ekonomi menilai hal itu ditengarai karena terjadinya ketidaksesuaian Kurikulum Pendidikan yang tidak sesuai dengan kebutuhan dunia kerja industri.
Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi (Dikti) Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbudristek), Prof. Dr. Ir. Nizam mengungkapkan, membangun pendidikan tinggi harus sesuai dengan Tri Dharma.
Pertama, dalam menghasilkan lulusan yang berkualitas. Lulusan berkualitas yakni yang betul-betul produktif bagi kemajuan dirinya, dan secara kolektif bagi kemajuan bangsa, dibutuhkan SDM dengan kreativitas, inovasi, dan kompetensi baru.
“Hal tersebut menjadi tantangan besar bagi dunia pendidikan, menyiapkan skills dan kompetensi baru yang saat ini belum ada, menyiapkan untuk suatu dunia kerja, kita menyiapkan anak-anak kita untuk kreatif, adaptif, problem solver serta menyiapkan untuk bisa menghadapi dunia digital yang sangat- luar biasa mendisrupsi kehidupan kita ini,”ungkap Prof. Dr. Ir. Nizam. (https://www.medcom.id/pendidikan/news-pendidikan/ybD4eopb-lulusan-perguruan-tinggi-harus-nyambung-dengan-kebutuhan-dunia-kerja).
Kedua, melalui penelitian karena ekonomi Indonesia tidak lagi dapat mengandalkan Sumber Daya Alam (SDA), tetapi dari inovasi yang lahir dari perguruan tinggi.
Ketiga, Pengabdian kepada masyarakat / PkM (Abdimas) untuk mengembangkan masyarakat yang tercerahkan.
Perguruan tinggi harus menjadi mata rantai yang lulusannya harus relevan dengan dunia kerja, yang karya-karya inovasinya nyambung dengan kebutuhan dunia kerja (Nizam, 2021).
Oleh karena itu, Mendikbudristek Mas Nadiem Makarim melakukan transformasi perguruan tinggi melalui Program MBKM (Merdeka Belajar, Kampus Merdeka).
Program tersebut merupakan upaya untuk mengakselerasi SDM unggul yang dibutuhkan.
Dalam Kampus Merdeka, kegiatan-kegiatan mahasiswa di rancang dalam sembilan kegiatan. Mulai dari pertukaran mahasiswa, magang, kampus mengajar, penelitian, proyek kemanusiaan, kewirausahaan, studi independen, membangun desa hingga bela negara.
Dari kompilasi permasalahan diatas menurut Peneliti Rekayasa Sosial USU dalam siaran persnya Dra.Dara Aisyah, M.Si, Ph.D (Dosen Prodi Ilmu Administrasi Publik, FISIP USU), dan Dr. Muhammad Sontang Sihotang, S.Si, M.Si,(Dosen Prodi Fisika FMIPA, USU), maka perlu adanya perbaikan kurikulum yang disesuaikan dengan keperluan dunia kerja.
Adapun kurikulum dipersiapkan berbasiskan tematik yang didampingi oleh para pakar dan para praktisi serta industri.
Para lulusan harus aktif, kreatif, inovatif, responsive, serta produktif.
Peningkatan kompetensi dan kemahiran melalui pelatihan, magang serta kapabilitas laboratorium yang mumpuni. (***)