Kekhawatiran Parpol Berlakunya Kembali Sistem Proporsional Tertutup


 

Kekhawatiran Parpol Berlakunya Kembali Sistem Proporsional Tertutup

Kamis, 18 Mei 2023

Oleh : 

Fadlyka Himmah Syahputera Harahap, SE.I., M.E.


Dua sistem pemilihan umum (Pemilu) pernah dilakukan di Indonesia, proporsional terbuka dan tertutup. Sebagai literasi singkat, apa perbedaan kedua sistem tersebut. Mengambil dari situs Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), secara umum, sistem Pemilu di dunia memiliki tiga macam sistem. 


Tiga macam sistem Pemilu di dunia adalah sistem Pemilu pluralitas/mayoritas/distrik. Sistem Pemilu proporsional dan sistem Pemilu campuran atau gabungan sistem pluralitas dan proporsional.


Sistem Pemilu di negara ini, penerapannya adalah sistem Pemilu proporsional, sistem Pemilu di mana persentase kursi DPR yang dibagikan kepada masing-masing partai politik disesuaikan dengan jumlah suara yang diperoleh masing-masing partai politik. Dalam sistem ini, para pemilih akan memilih partai politik, bukan calon perseorangan.


Kemudian berubah sistem, yaitu sistem Pemilu proporsional, yang dibagi menjadi dua macam, sistem Pemilu proporsional terbuka dan sistem Pemilu proporsional tertutup. Dalam sejarahnya, kedua sistem proporsional terbuka dan tertutup pernah diterapkan dalam Pemilu di Indonesia.


Perbedaannya, yaitu, sistem Pemilu proporsional terbuka, adalah sistem Pemilu di mana pemilih mencoblos partai politik ataupun calon bersangkutan. Dalam sistem ini pemilih dapat langsung memilih calon legislatif yang dikehendaki untuk dapat duduk menjadi anggota dewan. Secara singkat, sistem proporsional terbuka adalah sistem coblos Caleg. 


Sedangkan sistem Pemilu proporsional tertutup adalah sistem Pemilu, pemilih hanya mencoblos nama partai politik tertentu. Kemudian partai yang menentukan nama-nama yang duduk di menjadi anggota dewan. Singkatnya, sistem proporsional tertutup adalah sistem coblos gambar partai.


Catatan sejarah dua sistem Pemilu di Indonesia, yaitu sistem proporsional terbuka dan tertutup pernah diterapkan. Untuk penerapan sistem Pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan di Indonesia pada Pemilu Tahun 1955, Pemilu orde baru (Tahun 1971, 1977, 1982, 1987, 1992, 1997), dan Pemilu Tahun 1999. Kemudian pada Pemilu Tahun 2004, menerapkan sistem proporsional terbuka.


Hal ini berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 12 Tahun 2003 tentang Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Dewan Perwakilan Daerah (DPD), dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD). Dari Tahun 2004, sistem Pemilu proporsional terbuka masih diterapkan sampai saat ini. Penerapan sistem proporsional terbuka di Indonesia yakni pada Pemilu 2004, Pemilu 2009, Pemilu 2015, dan Pemilu 2019.


Wacana untuk di terapkan kembali sistem proporsional tertutup, menuai penolakan oleh delapan partai politik (Parpol). Delapan parpol disebut telah menunjukkan perlawanan terbuka dengan menolak wacana sistem proporsional tertutup pada Pemilu 2024 yang akan datang.


Delapan Parpol tersebut adalah, Golkar, Gerindra, Nasdem, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Demokrat, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN) dan Partai Persatuan Pembangunan (PPP).


Bahkan komentar dari Direktur Eksekutif Institute for Democracy and Strategic Affairs (Indostrategic), Ahmad Khoirul Umam menyebut perlawanan tersebut diarahkan kepada operasi untuk mengembalikan sistem proporsional tertutup. "Langkah delapan fraksi di Senayan yang kompak menolak pelaksanaan sistem proporsional tertutup merupakan bentuk perlawanan terbuka terhadap operasi pengembalian sistem kekuasaan yang sentralistik".


Alur cerita proporsional tertutup agar diterapkan pada Pemilu 2024 berawal dari langkah enam orang yang mengajukan gugatan uji materi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke mahkamah konstitusi (MK). yang telah teregistrasi di MK dengan nomor perkara 114/PUU-XX/2022. Keenam penggugat, yakni Demas Brian Wicaksono (pemohon I), Yuwono Pintadi (pemohon II), Fahrurrozi (pemohon III), Ibnu Rachman Jaya (pemohon IV), Riyanto (pemohon V), dan Nono Marijono (pemohon VI).


Dasar pemohon mengajukan gugatan yaitu atas Pasal 168 ayat (2) UU Nomor 7 Tahun 2017. Dalam pasal itu diatur bahwa pemilihan anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. Dari gugatan ini pula, para pemohon meminta MK mengganti sistem proporsional terbuka yang dianggap bertentangan dengan UUD 1945 dan telah menimbulkan masalah multidimensi seperti politik uang.


Dengan alasan itu, para pemohon menginginkan MK dapat mengganti sistem proporsional terbuka menjadi sistem proporsional tertutup.


Kucing Dalam Karung


Istilah proporsional tertutup diberi gelar oleh Ketua Umum Partai Demokrat, Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) menyebut wacana penggantian sistem proporsional terbuka ke tertutup tak ubahnya seperti membeli kucing dalam karung. Menurutnya, sistem proporsional tertutup akan merampas hak rakyat dalam memilih calon anggota legislatif. Karena, pemilih hanya bisa mencoblos Parpol dan tak bisa memilih calon anggota legislatif yang akan duduk di parlemen. 


"Jangan sampai ada hak rakyat dalam demokrasi ini yang dirampas," ujar AHY di tempat yang sama. Jika terjadi sistem Pemilu tertutup, maka rakyat tidak bisa memilih secara langsung wakil-wakil rakyatnya. Padahal kita ingin semua menggunakan haknya dan tidak seperti membeli kucing dalam karung," tegasnya di beberapa media ternama.


Selain AHY, penulis memuat alasan dari politisi lain, Airlangga Hartanto, Ketua Umum Partai Golkar, menyatakan, sistem proporsional terbuka yang telah dijalankan sejak Pemilu 2004 merupakan salah satu wujud demokrasi Indonesia; Di mana rakyat dapat menentukan calon anggota legislatif yang dicalonkan oleh partai politik, dia menilai dengan diterapkan kembali sistem proporsional tertutup akan membuat demorasi mundur. 


Pro-kontra sistem terbuka dan tertutupterus berlanjut yang berawal dari keinginan politisi sampai ke meja DPR pun belum clear, hingga sampai ke MK. Jika ditelisik kembali dari catatan konstitusi.


Prporsional terbuka, bukan produk atau hasil dari mahkamah konstitusi. Atau bukan bersumber dari mahkamah konstitusi, melainkan hasil kesepakatan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia. Dalam konstitusi, MK hanya mencoret frasa sehingga yang menjadi anggota DPR terpilih itu harus mendapatkan suara terbanyak di atas 35 persen. 


Kesimpulannya, sistem Pemilu terbuka dibuat oleh DPR yang diajukan ke MK, lalu MK mencoret syaratnya dan tidak boleh mengatur sistem pemilihan di Indonesia.


Masing-masing sistem memiliki identik pada titik kelemahan, sistem terbuka, identik dengan politik uang sedangkan sistem tertutup menghalangi rakyat memilih langsung sosok wakil rakyatnya dan rakyat tidak ada hakdi internal partai; murni hak peto partai. 


Jika dua sistem ini di persentasekan ke masyarakat, tentunya masyarakat memilih proporsional terbuka. Namun, keputusan ada di MK. Penulis berpandangan, kedua sistem yang sedang di proses ke MK, tingal menunggu hasil putusan MK. 


Apakah hasilnya terbuka atau tertutup ? Jika dianalisa, tidak ada hak MK untuk mengatur sistem Pemilu. MK hanya melihat titik adil atau tidaknya dari kedua sistem tersebut dan mencoret frasenya. Sistem terbuka di mulaidari 2004 dan masih berlaku di pemilu 2024. 


Penulis : Ketua Divisi Teknis Penyelenggaraaan KPU Kota Padang Sidempuan 2018-2023.