Beberapa hari ini, saya melihat pemberitaan tentang SPBU Lingga Bayu tentang perbuatan teror dari salah seorang warga bernama Pian, warga Dalan Lidang, Kecamatan Lingga Bayu Kabupaten Mandailing Natal (Madina).
Memang saya belum mengetahui utuh apa masalah sebenarnya. Belum ketemu dengan wartawan yang bernama Agus Salim Hasibuan secara langsung. Tapi, melalui sambungan telepon, Agus sudah bercerita. Saya juga kebetulan sedang tidak berada di Madina dalam beberapa hari ini.
Saya mencoba mencari tahu apa masalahnya. Dari cerita singkat yang saya dapat, ini bermula ketika Agus Salim, kontributor TVRI yang juga wartawan di media online StartNews memberitakan tentang dugaan penjualan BBM bersubsidi untuk keperluan usaha tambang emas menggunakan mesin dongpeng.
Agus bilang baru-baru ini dia sedang ada lawatan ke Pantai Barat, lalu singgah mengisi BBM di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) 15229022 Lingga Bayu. Ketika itu salah satu nozzle (mesin pengisian) ditemukan banyak jerigen berjejer.
Selaku wartawan, setiap kejadian yang pertama dilakukan wartawan adalah mengamankan dokumentasi gambar maupun video.
Selang berapa hari, Agus Salim melanjutkan temuannya itu dengan melakukan wawancara by phone dengan pihak pengelola SPBU untuk menanyakan soal jerigen berjejer hasil temuannya.
Jangan-jangan jerigen itu untuk keperluan tambang emas ilegal atau tambang galian C ilegal yang marak belakangan ini di Pantai Barat.
Jawaban pihak SPBU, menurut keterangan Agus, itu hal biasa dan lumrah asal ada surat keterangan dari kepala desa atau lurah. Surat keterangan desa itu seolah menjadi dasar pijakan mereka melegalkan pengisian BBM subsidi ke jerigen.
Andai BBM subsidi itu untuk keperluan kegiatan ilegal, apakah itu bisa ditafsirkan bahwa kepala desa juga terlibat dalam permainan ilegal ini ? Kepala desa mana saja yang mengeluarkan surat itu ? Apa saja isi suratnya itu ?
Jadi. banyak tanda tanya di dalam masalah ini. Tapi, yang pasti saya juga sering mengalami susahnya menunggu antrian pengisian BBM karena jerigen berjejer ini, terutama di daerah Kecamatan Siabu.
Kembali ke masalah Agus. Ternyata dia sudah menjalankan tugas-tugas wartawannya, setelah konfirmasi ke pihak SPBU, lalu konfirmasi ke BPH Migas, dan mendapat jawaban.
Hasil temuannya, ditambah dengan konfirmasi itu dibuatkan dalam pemberitaan. Nah, bicara soal berita, informasi atau data yang ditemukan di lapangan lalu dikonfirmasi kepada pihak-pihak berkompeten itu sudah layak menjadi berita, sudah melakukan cover both side (dari dua sisi).
Lalu, mengapa ada yang gerah dan kepanasan. Sehingga, Pian menghubungi Agus lewat sambungan telepon. Bahkan, Pian bilang melalui telepon bahwa BBM subsidi jerigen itu untuk keperluan tambang menggunakan mesin dongpeng.
Tidak cukup telepon, Pian lalu mengirimkan pesan teks lewat WhatsApp kepada Agus. Dalam pesan itu, ada juga ultimatum agar Agus hati-hati, ada yang akan mendatanginya 30 hingga 50 mobil.
Pian mengirim pesan demikian bisa saja mewakili para koleganya atau rekan usahanya sesama pengutip BBM bersubsidi. Bisa juga hanya sebagai komunikator (penyampai pesan) pengelola atau pemilik SPBU.
Pengelola menyuruh Pian untuk menyampaikan pesan seperti yang diterima Agus, bisa diterjemahkan bahwa Pian hanya sebagai orang yang diarahkan mengirim pesan kepada Agus, yang tujuannya agar Agus tidak lagi mengurusi (menaikkan berita) tentang SPBU Lingga Bayu yang bebas menjual BBM bersubsidi kepada hal-hal yang diduga penyalahgunaannya menyimpang.
Lalu, kembali kepada pertanyaan di atas tadi. Apa dasar kepala desa mengeluarkan surat yang diduga BBM itu untuk kegiatan ilegal. Siapa yang menyuruh Pian mengirim pesan berisi teror kepada Agus ?
Alhasil, pesan yang dikirim Pian itu sekarang menjadi viral hingga berujung pengaduan ke Polres Madina. Agus juga bilang sejak ada pesan dari Pian itu, dia merasa tidak nyaman. Wajar saja itu. Baru bulan lalu jagad negeri ini dihebohkan dengan kasus wartawan di Karo dibunuh lewat skenario kebakaran. Lantas, apa hal ini dibiarkan begitu saja dan dianggap hal sepele?
Permohonan maaf memang perbuatan yang mulia dan lebih mulia lagi apabila dimaafkan. Yang jadi permasalahan, ada rangkaian kejadian di dalam masalah ini yang perlu diluruskan dan dituntaskan secara hukum. Jangan sampai wartawan di Kabupaten Madina tidak nyaman menjalankan tugasnya.
Wartawan punya aturan menjalankan tugasnya. Ada undang-undang yang melindunginya (UU Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers). Ada Kode Etik Jurnalistik sebagai pedomannya. Apabila ada oknum wartawan bekerja menabrak aturan-aturan, ada langkah yang bisa ditempuh, karena wartawan tidak kebal hukum. Pun dengan media massa tempatnya bekerja.
Kalau menabrak aturan, ada langkah hukum yang dapat ditempuh. Bukan dengan melalukan tindakan lain yang membuat gaduh seperti pengancaman, teror, dan sebagainya. Dan, perlu diingat ada konsekuensi hukum juga bagi pihak-pihak yang melanggar UU tentang Pers.
Permasalahan ini sudah berjalan di institusi hukum, Polres Madina. Agus sudah buat pengaduan ke Kapolres Madina. Pertanyaannya, apakah polisi sudah memproses aduan itu ? Prosesnya sudah bagaimana ? Siapa saja yang sudah dimintai keterangan ?
Jangan sampai permasalahan berlarut-larut, wartawan ribut-ribut, sementara proses hukumnya tidak berjalan. Saya takut nanti kepercayaan publik akan menurun pada penegakan hukum di Kabupaten Madina.
Masalah ini butuh kepastian hukum. Ini bukan cuma permasalahan antara Agus dan Pian. Ini adalah masalah keberlanjutan pers di Kabupaten Madina pada masa mendatang.
Sekali lagi, bagi pihak-pihak yang merasa dirugikan dari produk pers yang disajikan media massa, silakan tempuh jalur sesuai aturan, hak koreksi, hak jawab, dan sebagainya. Jangan sampai ada upaya persekusi.