Oleh : Indah Annisa SE, MM Wakil Ketua DPRD Madina
Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) dari sudut pandang Indah Annisa, S.E., M.M.
Pimpinan DPRD Kabupaten Mandailing Natal dan Wakil Ketua Bidang Ekonomi, Koperasi dan UMKM DPD Partai GOLKAR Kabupaten Mandailing Natal.
Dalam tulisan Indah Annisa SE, MM yang diterima wartawan media ini, Sabtu (16/11/24) memuat tanggapan terkait kelengkapan dokumen LHKPN salah satu calon bupati yang diduga belum lengkap pada saat ditetapkan sebagai calon Bupati Mandailing Natal, berikut ini tanggapan Indah Annisa.
Tanggal 8 September 2024 menjadi titik krusial dalam perjalanan demokrasi Indonesia. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah mengumumkan bahwa dari 1.432 bakal calon kepala daerah, masih ada 107 yang belum menyelesaikan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) mereka. Ironis, bukankah generasi yang kita sebut “teladan” malah terkesan mengabaikan komitmen transparansi ini.
Dari kacamata generasi muda, khususnya perempuan, isu ini mengusik pertanyaan lebih dalam ; Bagaimana kita bisa mempercayai pemimpin yang enggan transparan dalam melaporkan harta kekayaannya. Bukankah kepercayaan publik pada pejabat publik adalah pondasi utama dalam membangun negara. Mungkin ada yang lupa bahwa di balik laporan kekayaan itu, ada harapan rakyat agar mereka tidak tergelincir dalam praktik korupsi yang menjerat banyak pejabat.
Lebih dari itu, kejadian di Mandailing Natal ini menarik perhatian. Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Mandailing Natal, yang menyatakan bahwa pasangan calon H. Saipullah Nasution, SH., MM memenuhi syarat, mengundang pertanyaan besar, terutama di kalangan kami, Generasi Z. Ternyata, ada “keajaiban” di balik penerbitan tanda terima LHKPN yang muncul setelah batas waktu, pada 16 Oktober 2024. Seharusnya, persyaratan administrasi yang terlambat ini menggugurkan pasangan calon yang bersangkutan.
Apakah generasi kami, yang tumbuh dalam era keterbukaan digital, terlalu idealis jika berharap KPU bertindak adil dan tegas. Ataukah sistem demokrasi ini memang punya “kelonggaran” yang menguntungkan beberapa pihak. Jika prinsip ini terus dipelihara, apa jadinya kepercayaan kami pada proses Pemilu.
Kami, para perempuan Generasi Z yang percaya pada etika dan transparansi, berharap KPU Mandailing Natal segera melakukan rapat pleno untuk mengkaji ulang keputusan ini. Agar mereka bisa menunjukkan bahwa demokrasi masih punya martabat di mata publik. Kami tidak berharap banyak, hanya ingin satu hal : Jadikan Pilkada ini ajang pendidikan politik yang sehat, yang dapat dicontoh oleh generasi berikutnya.