Pengamat : Dahsyatnya Peran Partai Coklat Dalam Pemilu dan Pilkada 2024


 

Pengamat : Dahsyatnya Peran Partai Coklat Dalam Pemilu dan Pilkada 2024

Sabtu, 08 Februari 2025

Jeiry Sumampow, Pengamat Politik, Ketua TEPI Komite Pemilu.

Metro7news.com|Tanjungbalai - Ada hal menarik dalam materi yang disampaikan oleh pengamat politik Jeiry Sumampow di acara Evaluasi Pengawasan Partisipatif Pemilihan Serentak Tahun 2024 yang diselenggarakan oleh Bawaslu Sumut di Hotel Grand Singgie, Jalan HOS Cokroaminoto Tanjungbalai, pada Jum'at (07/02/25). 


Jeiry Sumampow, Ketua TEPI Komite Pemilu sekaligus pemerhati demokrasi nasional itu mengatakan, bahwa pihaknya telah mengajak Bawaslu bicara masalah pengawasan partisipatif sejak 2009 lalu. 


Hal itu pun kemudian menjadi program Bawaslu dan pengawasan partisipatif akhirnya di kokohkan dalam amanat UU RI No 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.


Sejak saat itu, Bawaslu pun kemudian getol melakukan upaya pengembangan program pengawasan partisipatif dengan berbagai pola dan metode. Seperti program pengawasan berbasis tekhnologi informasi atau Gowaslu, pengawasan jaring media sosial, kampung pengawasan, kerjasama antara Bawaslu dengan kampus dan sekolah, saka adhyasta oleh pramuka dan lain sebagainya.


Menurutnya, program pengawasan partisipatif bukan sekedar melakukan pengawasan dan pemantauan terhadap jalannya Pemilu. Akan tetapi program tersebut juga mengarah kepada penerapan edukatif, sehingga belakangan muncullah sekolah kader pengawasan partisipatif. 


Masih menurut Jeiry, metode edukasi tersebut bertujuan memberikan pemahaman kepada pemilih dan masyarakat untuk membangun kesadaran kritis dalam mengawasi proses Pemilu maupun Pilkada.


"Kita berupaya membangkitkan kesadaran dan kerelaan masyarakat untuk lebih kritis dalam konteks berpartisipasi dalam Pemilu. Tidak hanya mengawasi dan memantau, tetapi mengkritisi substansinya," katanya.


Tambah Jeiry lagi, sejak reformasi 98, situasi berada dalam konteks transisi demokrasi. Tetapi akhir-akhir ini pola transisi demokrasi tersebut semakin tidak terkendali, bahkan telah jauh melenceng dari harapan dan cita-cita reformasi.


Dalam Pilkada 2024, konteks transisi demokrasi yang tak terkendali semakin kentara. Seperti makin kuatnya oligarki, politik menghalalkan segala cara, prosedur yang sudah baik tapi substansinya masih bermasalah, semakin kuatnya dinasti politik yang semua itu akhirnya hanya membuat masyarakat semakin skeptis terhadap hasil demokrasi. 


Padahal dengan reformasi, hal itu lah yang ingin diubah, namun kenyataannya saat ini berbanding terbalik, tidak ada lagi nilai dan prinsip yang kuat untuk menjadi patokan.


Jeiry juga menyinggung tujuh persoalan mendasar dalam Pemilu yang dirilis oleh Forum Pemred (Pemimpin Redaksi) media di Jakarta pada akhir 2023 lalu. Salah satunya adalah tentang keterlibatan Partai Coklat yang menjadi partai tambahan baru dalam Pemilu 2024 yang sangat dahsyat.


Jeiry pun menuturkan, fenomena keterlibatan Partai Coklat sudah sejak lama ada, yakni sejak Tahun 2003. Namun dengan kecanggihan saat ini, membuat pergerakan Partai Coklat semakin masif dan semakin sulit untuk terdeteksi. Jeiry juga mengaku memiliki dan memegang data terkait keterlibatan Partai Coklat tersebut.


Saat ditanya terkait langkah konkret yang dapat dilakukan untuk menekan keterlibatan Partai Coklat dalam Pemilu, Jeiry Sumampow pun mengatakan, bahwa sejak era reformasi, kepolisian memiliki struktur langsung ke presiden. 


"Kepolisian memang ditugaskan mengawal TPS, guna memantau dan mengumpulkan data sesuai arahan presiden. Artinya kepolisian sejak lama terlibat langsung dalam proses di TPS dan kemudian belakangan ini makin efektif digunakan," katanya. 


Jeiry pun berpendapat bahwa, keterlibatan Partai Coklat bukan semata kesalahan kepolisian, namun kekuasaan lah yang memanfaatkan kepolisian untuk kepentingan dalam Pemilu dan Pilkada, termasuk dalam konteks mobilisasi dan penggalangan.


Ketika disinggung terkait inefisien polisi dalam ruang Gakkumdu, Jeiry pun mengatakan, dengan isu Partai Coklat dan keterlibatan kepolisian dalam kepentingan kemenangan elektoral, maka fungsi sentra Gakkumdu menjadi tidak tepat lagi untuk saat ini. 


"Polisi itu kan bukan penyelenggara Pemilu, sehingga dia tidak tunduk pada kode etik penyelenggara Pemilu. Jadi kalau dia salah, gak bisa digugat atau di DKPP kan lah. Jadi dia seolah-olah kebal, dan itu ruang yang bisa dia gunakan atau digunakan oleh kekuasaan untuk menghentikan satu kasus. Misalnya kasus kuat, perintah dari atas untuk dihentikan, dicarilah alasan untuk menghentikannya," paparnya. 


Lebih jauh Jeiry mengatakan, pihaknya telah mengusulkan agar seluruh pelanggaran pidana Pemilu dapat dijadikan pelanggaran administratif, agar tidak lagi ada urusan polisi dan jaksa. Sehingga seluruh pelanggaran akan dapat ditangani langsung oleh Bawaslu.


"Bawaslu itu kan tidak memiliki kewenangan dalam pelanggaran pidana, kita sudah usulkan agar semua pelanggaran dijadikan pelanggaran administratif. Jadi Bawaslu dapat memutuskan langsung dan menjatuhkan sanksi, hingga diskualifikasi," tutupnya.


(ds)